Selasa, 05 Februari 2019

Indonesia Tidak Bolehkan Para Pencari Suaka Mencari Bekerja

Indonesia Tidak Bolehkan Para Pencari Suaka Mencari Bekerja

Indonesia Tidak Bolehkan Para Pencari Suaka Mencari Bekerja

AGEN POKER Para pencari suaka saat ini sedang di pengungsi dari sejumlah negara yang nongkrong sepanjang hari di pinggir Jalan Peta Selatan, Kalideres, Jakarta Barat. Ini bukan karena mereka malas, tapi mereka memang tak diperbolehkan bekerja di wilayah Indonesia. Kebanyakan dari mereka hanya termangu di pinggir jalan, sambil membawa payung atau duduk di atas tikar. Puluhan pengungsi dari Afganistan, Sudan, Somalia, dan Irak ini teramati berada di sekitar Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jakarta.

Ini dia yang pengungsi yang mencari suaka bernama Abdul Zabi (29) memegang payung biru sambil bersila di trotoar yang tak jauh dari toilet umum. Di depannya, angkot melaju meninggalkan asap, disusul kendaraan-kendaraan lainnya. Lalu lintas sedang ramai pada hari Selasa siang. Abdul berharap ada dermawan di antara banyak orang yang berlalu lalang itu untuk menolong mereka untuk makan.

Sehari-hari duduk di jalan. Kalau hujan, pindah ke sana, kata Zabi kepada seorang wartawan sambil menunjuk ke teras toko di seberang. Dia mengaku sering mendapat nasi bungkus dari warga, meski tidak bisa dibilang rutin. Cara hidup seperti ini terpaksa dia jalani karena dia tak punya pilihan. Dia tak diperbolehkan bekerja secara legal di Indonesia. Kerja tidak boleh. Di Indonesia ada banyak orang juga ya, di sini tidak boleh, kata Zabi. Maka satu-satunya cara bertahan hidup adalah lewat bantuan yang sampai ke tangannya. Dia hidup di Indonesia bersama istri dan dua putra kecilnya.

Kondisi yang memaksanya menjadi mirip pengemis ini membuatnya ingin segera menuju tanah impian, yakni negara pihak ketiga yang menerima para pengungsi, seperti Kanada, Selandia Baru, atau Australia. Negara-negara itu meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi 31 Januari 1967. Indonesia tidak termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi. Indonesia hanyalah negara transit yang berbaik hati.

Saya mau ke Kanada, New Zealand, Australia. Jadi di Indonesia transit. Mungkin saya bisa di sini 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, tuturnya. Zabi bertutur dalam bahasa Indonesia yang belum sempurna. Dia belajar bahasa Indonesia secara otodidak di jalanan ini sejak kedatangan pertama kali pada Februari 2018.

Kini yang bisa dilakukan mantan sopir taksi ini adalah menunggu diregistrasi oleh petugas IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi). Bila sudah diregistrasi, paling tidak dia bisa hidup layak di penampungan dan hari-hari keluarganya lebih terjamin. Entah kapan dia dan keluarganya akan diregistrasi IOM. Harapan Zabi sebenarnya sempat mengkerut setelah tahu Australia menghentikan dana bantuan bagi pengungsi di Indonesia.

Dilansir The Guardian, Australia menghentikan pendanaan pengungsi yang menunggu di Indonesia. Kebijakan Australia itu berlaku sejak tanggal 15 Maret 2018. Sebelumnya, anggaran untuk pengungsi dari Australia diurus oleh Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan (DIBP) Australia lewat IOM dan akhirnya sampai di Indonesia.

Kini dia sedikit bernapas lega, paling tidak istri dan kedua anaknya, masing-masing usia 1,3 tahun dan 3 tahun, bisa tinggal di kontrakan yang dibiayai lembaga swadaya masyarakat Selasih. Satu kontrakan diisi lima keluarga. Adapun dia sendiri tidur di jalan di bawah tenda terpal biru yang didirikan para pengungsi tiap malam hari di dekat Rudenim Jakarta ini.

Peperangan-lah yang mendorong Abdul Zabi sekeluarga hijrah dari Kabul ke Jakarta. Bukan hanya Zabi, rata-rata pengungsi di sini berlatar belakang masyarakat korban perang dengan berbagai bentuk konflik yang tak sederhana. Pindah karena perang, Taliban. Bomb blast! ujar Zabi.

Cara hidup berharap dari kedermawanan orang-orang juga dilakoni oleh pengungsi Afganistan lain bernama Ahmad Zakaria (32), bapak yang membawa istri dan putri usia 2 tahun ke Jakarta. Duitnya sudah habis, terpaksa dia meninggalkan kontrakan sewaan dan turun ke jalanan.

Setiap hari kami di sini, karena menurut hukum di Indonesia, kami sebagai pengungsi tidak boleh bekerja. Jadi kami hanya duduk-duduk seharian. Kami tidak punya pilihan kecuali duduk disini, untuk mendapatkan makanan, minuman, kata Zakaria dalam bahasa Inggris. Soal bahasa Inggrisnya yang lumayan, dia mengaku sempat bersekolah di India. Dulu dia bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di ibu kota Afganistan, Kabul. Dulu saya bekerja di kantor, ucap Zakaria sambil merana di trotoar depan Rudenim.

Ada pria yang lebih muda, Ali namanya. Dia baru berusia 22 tahun. Selain tak bisa bekerja, dia juga tak bisa sekolah. Saat keluarganya mengungsi dari peperangan di Ghazni, tiga tahun lalu, dia masih bersekolah setingkat SMA. Kini dia hanya berharap pemerintah Indonesia, UNHCR, atau IOM memberi kemudahan bekerja dan bersekolah bagi pengungsi.

Andai saja mereka bisa memberikan itu, dan juga sedikit makanan dan minuman, karena kami tidak bisa bekerja di sini, tidak bisa belajar, makanya kami selalu di pinggir jalan seperti ini. Kami tidak bisa melakukan apa pun di sini, kata Ali, yang meminta wajahnya tak difoto.

Dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tanggal 17 September 2010, terdapat aturan perihal aktivitas bekerja bagi pengungsi. Lampiran itu memuat Surat Pernyataan Pengungsi yang harus ditandatangani pengungsi yang bersertifikat UNHCR. Poin keempat mengatur: mereka tidak boleh bekerja.

Pengungsi harus taat terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia, termasuk tidak boleh mencari kerja, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan mendapatkan upah, mengendarai kendaraan tanpa surat izin mengemudi, serta menjaga ketertiban lingkungan sekitarnya, demikian bunyi poin keempat Surat Pernyataan Pengungsi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SPG Di Kaltim Mencuri Kosmetik Hingga Ratusan Juta Rupiah

SPG Di Kaltim Mencuri Kosmetik Hingga Ratusan Juta Rupiah Ada seorang SPG di Samarinda, Kalimantan Timur yang harus berurusan dengan ap...